Rabu, 29 Februari 2012

Kenangan Terindah di SMP N 8 YOGYAKARTA

                Hari itu hari Sabtu. Ya, aku masih ingat. Sabtu yang cerah, yang selalu kunanti-nantikan karena tahu keesokan harinya adalah hari libur. Sabtu selalu, selalu menyenangkan. Aku tidak perlu mengkhawatirkan tugas atau ulangan apa pun dalam kurun waktu 24 jam ke depan di hari itu. Sabtu yang rasanya bertambah sempurna karena fakta kecil bahwa hari itu tanggal 9 April 2011; hari ulang tahunku.

                Sejujurnya, aku bukan orang yang mengagung-agungkan hari ulang tahun. Bukankah itu lucu? Hidupmu berkurang tiga ratus enam puluh lima seperempat hari, dan kau malah senang? Walau begitu, menilik berbagai keuntungan yang kudapat—Ibuku memasak semur favoritku, membelikan novel apa saja yang kupilih—aku mendengkur puas.
                Pelajaran terakhir sebelum sekolah bubar adalah matematika. Bu Ina, guru idolaku di kelas VIII, mengajar. Kerudungnya yang panjang membingkai paras beliau yang begitu sabar. Biasanya aku mengikuti penjelasannya dengan cukup antusias, mengingat kebanyakan materi kelas VIII adalah aljabar yang kusuka, tapi hari itu kami belajar sesuatu yang lain. Gradien. Ugh. Rasanya aku mau pulang.
                Bosan setengah mati, tanpa sadar aku melihat jam jauh lebih sering daripada yang perlu kulakukan. Sepertinya tingkahku ini tak luput dari pengamatan Bu Ina.
                “Aya, coba kerjakan soal di depan,” pinta beliau seraya tersenyum simpul. Kuakui aku agak terkejut karena tidak biasa ditunjuk maju, tapi toh kulakukan juga tanpa mendebat. Lumayan untuk mengusir kantuk.
                Aku yakin sudah menjawab dengan tepat, tetapi hal yang aneh terjadi. Seketika Bu Ina mengerutkan kening.
                “Aya, Aya. Masa’soal begini saja kamu salah? Ulangi lagi. Saya kasih soal baru,” Nadanya tidak hangat. Ekspresinya getir. Tentu saja aku terkesiap. Salah? Bagaimana bisa? Aku yakin sekali jawabanku benar!
                Apa boleh buat, aku maju lagi, kembali menorehkan paparan berisi sederet angka. Tapi apa pun yang kutulis, apa pun yang kuuraikan tampaknya justru membuat beliau semakin kesal. Bu Ina mengatakan sesuatu, suaranya melengking, panik mulai melandaku hingga aku bahkan tidak bisa mendengar beliau mengatakan apa. Apa jawabanku mengecewakannya? Apakah ternyata aku sebodoh itu? Tiba-tiba saja kelas berubah menjadi neraka.
                Entah sudah berapa soal yang dibuat Bu Ina untuk kukerjakan di papan tulis. Lima? Enam? Aku tidak tahu, otakku benar-benar macet karena was-was. Di bawah tatapan Bu Ina yang tajam aku benar-benar kalap, terlalu kalap hingga tidak menyadari temanku Harum yang masuk ke kelas sambil membawa seloyang besar kue penuh krim.
                “Selamat ulang tahun!” Mereka berseru berbarengan.
                Aku acuh tak acuh, sibuk dengan soal di papan tulis.
                “AYA, SELAMAT ULANG TAHUN!”  Harum berteriak di telingaku, menjatuhkan kapurku. Baru kali itu aku menengadah.
                “Hah?” Tanyaku bego.
                Harum memutar bola mata, namun nyengir kegirangan. “Selamat ulang tahun, Aya! Ayo kita makan kuenya dulu! Tiup lilinnya!”
                “Tapi soalnya...” Aku benar-benar merasa dungu.
                “Ih, serius deh... kita tuh ngerjain kamu! Surprise! Udah, tinggal aja soalnya!”
                Pemahaman akhirnya terbit di kepalaku yang mungkin terlambat berkembang. Oh iya, hari ini kan aku ulang tahun. Hampir saja aku membalas senyumnya ketika suara bentakan Bu Ina menengahi keriuhan.
                “Duduk semua!”
                Mendadak kelas hening. Cepat-cepat kami menyelinap ke balik meja, kembali ke kursi masing-masing. Kulirik wajah pias teman-temanku, dan sadarlah aku bagian ini di luar rencana. Bu Ina, yang selama ini belum pernah, belum pernah sekali pun memarahi kami, kini luar biasa murka. Uh-Oh.
                “Kalian ini keterlaluan! Kamu, Aya! Soal begitu saja kamu nggak bisa? Gimana UAN-mu nanti kalau sudah kelas IX?”
                Kami mengkeret. Tanpa sengaja aku bertemu pandang dengan cowok-cowok di kelas. Sungguh, jika statusku bukan korban, sama seperti mereka, aku pasti sudah tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi mereka. Sayang suasana di kelas terlalu horor bahkan hanya untuk bergerak.
                “Sebenarnya saya marah bukan karena kamu nggak bisa, tapi yang terpenting... SELAMAT ULANG TAHUN!”
                Bu Ina tiba-tiba berseru, suaranya berubah dari penuh teror jadi kembali ceria, seperti Bu Ina yang selama ini kukenal. Mencairlah sudah ketegangan kami, dan teman-temanku tertawa. Maunya menipu, malah kami semua yang akhirnya tertipu!
                “Selamat ulang tahun Aya, semoga tambah pintar, tambah berbakti pada orang tua. Terus pertahankan prestasimu,” Bu Ina berbisik lembut di telingaku, dan mengecup pipiku. Sungguh konyol, tapi air mataku tumpah begitu saja akibat perasaanku yang campur aduk. Marah, jengkel, lega, haru, semuanya menjadi satu. Kalau diingat-ingat kembali, sejak saat itulah gradien menjadi bab favoritku.
                Dan teman-temanku kembali tertawa. Bukan menertawakanku. Tawa yang bersahabat, menghangatkan suasana.
                “Serang!” Seseorang berteriak, mencolek pipiku dengan krim hijau yang lengket. Aku tergelak. Serta-merta bel pulang sekolah berbunyi. Harum dan Askia mengeluarkan tepung.
                Perang yang “sangat manis” pun dimulai.
                 

                  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar