Sejujurnya,
aku bukan orang yang mengagung-agungkan hari ulang tahun. Bukankah itu lucu?
Hidupmu berkurang tiga ratus enam puluh lima seperempat hari, dan kau malah
senang? Walau begitu, menilik berbagai keuntungan yang kudapat—Ibuku memasak
semur favoritku, membelikan novel apa saja yang kupilih—aku mendengkur puas.
Pelajaran
terakhir sebelum sekolah bubar adalah matematika. Bu Ina, guru idolaku di kelas
VIII, mengajar. Kerudungnya yang panjang membingkai paras beliau yang begitu
sabar. Biasanya aku mengikuti penjelasannya dengan cukup antusias, mengingat
kebanyakan materi kelas VIII adalah aljabar yang kusuka, tapi hari itu kami
belajar sesuatu yang lain. Gradien. Ugh. Rasanya aku mau pulang.
Bosan
setengah mati, tanpa sadar aku melihat jam jauh lebih sering daripada yang
perlu kulakukan. Sepertinya tingkahku ini tak luput dari pengamatan Bu Ina.
“Aya,
coba kerjakan soal di depan,” pinta beliau seraya tersenyum simpul. Kuakui aku
agak terkejut karena tidak biasa ditunjuk maju, tapi toh kulakukan juga tanpa
mendebat. Lumayan untuk mengusir kantuk.
Aku
yakin sudah menjawab dengan tepat, tetapi hal yang aneh terjadi. Seketika Bu
Ina mengerutkan kening.
“Aya,
Aya. Masa’soal begini saja kamu salah? Ulangi lagi. Saya kasih soal baru,”
Nadanya tidak hangat. Ekspresinya getir. Tentu saja aku terkesiap. Salah?
Bagaimana bisa? Aku yakin sekali jawabanku benar!
Apa
boleh buat, aku maju lagi, kembali menorehkan paparan berisi sederet angka.
Tapi apa pun yang kutulis, apa pun yang kuuraikan tampaknya justru membuat
beliau semakin kesal. Bu Ina mengatakan sesuatu, suaranya melengking, panik mulai
melandaku hingga aku bahkan tidak bisa mendengar beliau mengatakan apa. Apa
jawabanku mengecewakannya? Apakah ternyata aku sebodoh itu? Tiba-tiba saja
kelas berubah menjadi neraka.
Entah
sudah berapa soal yang dibuat Bu Ina untuk kukerjakan di papan tulis. Lima?
Enam? Aku tidak tahu, otakku benar-benar macet karena was-was. Di bawah tatapan
Bu Ina yang tajam aku benar-benar kalap, terlalu kalap hingga tidak menyadari
temanku Harum yang masuk ke kelas sambil membawa seloyang besar kue penuh krim.
“Selamat
ulang tahun!” Mereka berseru berbarengan.
Aku
acuh tak acuh, sibuk dengan soal di papan tulis.
“AYA,
SELAMAT ULANG TAHUN!” Harum berteriak di
telingaku, menjatuhkan kapurku. Baru kali itu aku menengadah.
“Hah?”
Tanyaku bego.
Harum
memutar bola mata, namun nyengir kegirangan. “Selamat ulang tahun, Aya! Ayo
kita makan kuenya dulu! Tiup lilinnya!”
“Tapi
soalnya...” Aku benar-benar merasa dungu.
“Ih, serius
deh... kita tuh ngerjain kamu! Surprise! Udah, tinggal aja soalnya!”
Pemahaman
akhirnya terbit di kepalaku yang mungkin terlambat berkembang. Oh iya, hari ini
kan aku ulang tahun. Hampir saja aku membalas senyumnya ketika suara bentakan Bu
Ina menengahi keriuhan.
“Duduk
semua!”
Mendadak
kelas hening. Cepat-cepat kami menyelinap ke balik meja, kembali ke kursi
masing-masing. Kulirik wajah pias teman-temanku, dan sadarlah aku bagian ini di
luar rencana. Bu Ina, yang selama ini belum pernah, belum pernah sekali pun memarahi
kami, kini luar biasa murka. Uh-Oh.
“Kalian
ini keterlaluan! Kamu, Aya! Soal begitu saja kamu nggak bisa? Gimana UAN-mu
nanti kalau sudah kelas IX?”
Kami
mengkeret. Tanpa sengaja aku bertemu pandang dengan cowok-cowok di kelas.
Sungguh, jika statusku bukan korban, sama seperti mereka, aku pasti sudah
tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi mereka. Sayang suasana di kelas terlalu
horor bahkan hanya untuk bergerak.
“Sebenarnya
saya marah bukan karena kamu nggak bisa, tapi yang terpenting... SELAMAT ULANG
TAHUN!”
Bu Ina
tiba-tiba berseru, suaranya berubah dari penuh teror jadi kembali ceria,
seperti Bu Ina yang selama ini kukenal. Mencairlah sudah ketegangan kami, dan
teman-temanku tertawa. Maunya menipu, malah kami semua yang akhirnya tertipu!
“Selamat
ulang tahun Aya, semoga tambah pintar, tambah berbakti pada orang tua. Terus
pertahankan prestasimu,” Bu Ina berbisik lembut di telingaku, dan mengecup pipiku.
Sungguh konyol, tapi air mataku tumpah begitu saja akibat perasaanku yang
campur aduk. Marah, jengkel, lega, haru, semuanya menjadi satu. Kalau diingat-ingat
kembali, sejak saat itulah gradien menjadi bab favoritku.
Dan
teman-temanku kembali tertawa. Bukan menertawakanku. Tawa yang bersahabat,
menghangatkan suasana.
“Serang!”
Seseorang berteriak, mencolek pipiku dengan krim hijau yang lengket. Aku
tergelak. Serta-merta bel pulang sekolah berbunyi. Harum dan Askia mengeluarkan
tepung.
Perang
yang “sangat manis” pun dimulai.